Mengenal dan Memahami Dana DIPA

Guys, nyadar nggak sih selama beberapa tahun belakangan ini dunia persilatan... eh, maksud gue, dunia perkuliahan sedang gancar-gencarnya menghadapi berbagai isu tentang Dua Lipa... eh, maksud gue, dana DIPA. Hehehe... Oke, sebelum banyak orang suudzon soal dana yang sering jadi alasan sulitnya pelaksanaan program kerja ORMAWA ini, kita simak dulu fakta-fakta lengkapnya. Cekidot!


Secara garis besar, Dana Isi Pelaksanaan Anggaran atau DIPA adalah dokumen pelaksanaan anggaran yang disusun oleh Pengguna Anggaran/ Kuasa Pengguna Anggaran. DIPA disusun berdasarkan keputusan Presiden mengenai rincian anggaran belanja pemerintah pusat. DIPA berfungsi sebagai dasar pelaksanaan anggaran setelah mendapat pengesahan dari Menteri Keuangan. Sampai di sini paham, ya?

Selama gue jadi mahasiswa dan mengikuti kegiatan organisasi nasional bertahun-tahun, nyatanya masih banyak mahasiswa dari berbagai penjuru Indonesia yang menuntut dan menyalahkan DIPA atas terhambatnya program mereka. Ini yang akhirnya membuat hubungan antara ORMAWA dan rektorat merenggang karena rasa curiga, ditambah provokasi dari internal maupun eksternal tentang DIPA yang tidak bisa diakses oleh mahasiswa.


Akhirnya, masalah internal kampus tentang DIPA itu dibawa oleh delegasi mereka ke forum mahasiswa nasional. Straight to the point, mereka teriak-teriak, mengutuk rektorat yang tidak transparan, mengurangi dana, hingga tidak mengizinkan mahasiswa mengaksesnya. Yaa, kalian bisa bayangin sendiri gimana mahasiswa yang 'kritis' kalo bicara, kan? Idealismenya mantap, kritikannya pedas., intonasinya tinggi, pokoknya membara! Wuuuu... Gue tercengang!

Tapi pas gue tanya "Mas, DIPA tuh singkatan dari apa, sih?"

Eee... Dia diam seribu bahasa!

Gue tanya lagi "DIPA tuh sumbernya dari mana sih, Mas?"

Eee... Dia  malah cengar-cengir, nanya temennya di sebelah, ternyata juga nggak tahu!

Ealahh, Mas, Mas, jadi mahasiswa boleh kritis, tapi harus pinter juga!

So, gue yakin banget beberapa orang yang ngakunya aktivis, organisator, bahkan pengurus organisasi nasional yang suka teriak-teriak DIPA-nya kemana itu pasti juga nggak tahu apa kepanjangan dari DIPA itu sendiri. Jadi kenapa student nowadays kebanyakan gebuk-gebuk meja, tunjuk orang sana-sini, memaki dan mencaci untuk hal yang mereka sendiri nggak ngerti? Apa sih yang sebenarnya lagi mereka tuntut??? Halu kamu, Mas!


Sekarang saatnya lu membuka mata lebar-lebar, siapkan segelas kopi Starbucks dan beberapa cemilan. Jangan lupa, ketika lu selesai membaca, BAGIKAN link blog ini di grup ORMAWA internal, grup wilayah, bahkan grup nasional. Jangan sampai informasi seperti ini disimpan untuk kalian sendiri. Serius, kalo mau pinter itu harus ajak-ajak orang lain. Oke, berikut fakta tentang DIPA!


1. Sumber DIPA di Lingkungan Kampus


Gue tanya nih, guys, kalian pernah dengar istilah 'Rupiah Murni' nggak? Enggak? Jadi, Rupiah Murni itu adalah bagian dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN). Alhasil, karena DIPA berasal dari APBN maka kemungkinan untuk berubah atau direvisi sangat mungkin terjadi. Selain dari APBN, uang semester yang selama ini kalian bayarkan juga menjadi bagian dari DIPA itu sendiri. (untuk kepastian berapa % dari SPP yang masuk ke dana DIPA silahkan ditanyakan ke bagian yang berwenang).


2. Sistem Alokasi DIPA


DIPA di lingkungan kampus digunakan dengan berlandaskan Tri Dharma Perguruan Tinggi, yaitu Pendidikan, Penelitian dan Pengabdian Masyarakat. So, setelah mengetahui besaran DIPA yang turun dari pemerintah, maka skala prioritas harus dibuat. Jadi pertanyaannya simple aja, "kira-kira kemana DIPA tersebut akan digunakan untuk tahun ini? Apakah untuk pendidikan, penelitian atau pengabdian masyarakat?"

Contoh pertama, jika DIPA dialokasikan untuk Pendidikan maka dana tersebut bisa digunakan untuk meningkatkan sarana dan prasarana kampus. Seperti pengadaan alat-alat lab, peningkatan wifi, menambah AC dan sebagainya untuk menunjang pendidikan yang lebih baik.

Contoh kedua, jika DIPA dialokasikan untuk Penelitian maka dana tersebut bisa digunakan untuk memfasilitasi penelitian dosen untuk memperoleh tenaga pengajar yang lebih berkualitas dan berkompetensi di bidangnya masing-masing.

Contoh ketiga, jika DIPA dialokasikan untuk Pengabdian Masyarakat maka dana tersebut bisa digunakan untuk kepentingan kegiatan organisasi kampus. Istilahnya, menunjang kegiatan-kegiatan yang lebih bermanfaat untuk masyarakat atau mahasiswa itu sendiri.



3. Jumlah DIPA yang turun

Sekarang jika kita bertanya kenapa kampus A bisa berbeda dengan kampus B dalam segi sarana dan prasarana padahal mereka sama-sama mendapat DIPA? Oke, biar lebih gampang gue ambil contoh dari almamater gue sendiri, kenapa Poltekkes Kemenkes Makassar punya DIPA yang lebih besar dari DIPA milik Poltekkes Kemenkes Riau? Bingung? Jawabannya adalah...


Yap, semua ada perhitungannya. Dimulai dari menghitung jumlah mahasiswa, jumlah jurusan, kondisi saran dan prasarana, sampai jumlah dosen di kampus tersebut. Intinya, semua memang mendapat DIPA namun ada hal-hal yang harus diperhatikan agar pembagiannya merata. Ingat, bukannya tidak adil tapi harus sama rata sesuai kondisi internal kampus itu sendiri. Jadi mulai sekarang hilangkan dulu sikap iri hati dan suudzon kalian wahai netijen!


4. DIPA nol rupiah? Mungkinkah?

Seperti yang gue bilang di point kedua, jika mahasiswa bertanya perihal dana DIPA dan dijawab DIPA untuk mereka tidak ada alias nol rupiah, hal itu wajar-wajar saja. Yang jadi fokus di sini bukan di nol rupiah tersebut, namun pada kenyataan DIPA tahun itu sudah dialokasikan untuk hal lain yang lebih mendesak atau masuk ke dalam skala prioritas.


Jelas, kan? Dan kalo sudah jelas begini, ada baiknya mahasiswa nggak perlu anarkis dengan mengancam mau membubarkan organisasi atau sampai demo menuntut rektorat, DUH! Organisasi jangan cuma mengemis uang saja, yang kalo nggak dikasih malah ngambek. Tujuan organisasi itu untuk pengembangan diri, kan? Sekarang buktikan kalau kalian masih bisa jalan tanpa DIPA.

Contohnya kampus gue sendiri, adik-adik gue di Poltekkes Kemenkes Jakarta 2 pernah nggak kebagian DIPA tapi seluruh program mereka tetap bisa berjalan dengan lancar. Kenapa? Ada yang namanya fund rising, danus, dan kegiatan penunjang kas lainnya. Gue yakin hal seperti ini banyak terjadi di kampus-kampus lain dan banyak dari mereka yang bisa survive.

Jadi, nggak dapet DIPA bukan berarti organisasi kalian kiamat.


5. Transparansi DIPA


Regulasi lebih jelasnya silahkan donwload PDF-nya di website KPK -> klik di sini


6. Jika transparansi DIPA tidak diberikan?


Ingat, nggak pakai arnakis! Jadilah organisator berkualitas yang nggak cuma mengandalkan mulut, tapi juga kepala. Jangan mudah menyebar HOAX dan jangan gampang terprovokasi.


Sekian informasi dari Kang Opel, jika kalian merasa postingan ini bermanfaat silahkan share link blog ini ke teman-teman yang ada di organisasi kalian. Sebarkan terus pengetahuan dan hal-hal yang mampu menunjang kalian untuk menjadi pemimpin yang berkualitas dan lebih baik lagi ke depannya. Salam!

8 Tips Public Speaking Ala Kang Opel

Guys, kali ini #TipsAlaKangOpel bakal ngasih tahu kalian gimana sih tips dan trik agar terhindar dari ‘rasa nggak pede’ atau ‘takut’ saat bicara di depan banyak orang? Daripada penasaran langsung aja baca tulisan-tulisan gue yang (semoga) berfaedah di bawah ini. Cekidot! 


Public speaking atau berbicara di depan publik adalah hal yang sebenarnya sudah kita pelajari di bangku sekolah, namun semakin intens ketika masuk ke dunia perkuliahan apalagi di dunia kerja. Contoh simple-nya ketika di masa sekolah adalah membaca cerita pendek, puisi, atau lu disuruh minta maaf di depan kelas karena baru aja ngejahilin temen lu sendiri. Tapi, pelajaran public speaking yang paling gue inget di sekolah adalah ketika gue disuruh monolog tentang dialog ekspresi sedih. 

Sedih? Yoi, saat itu Guru Bahasa Indonesia gue bahkan maksa supaya gue ngeluarin air mata. What the Fufufu...! Bayangin, gue lagi ngomong terbata-bata sambil nunjukin muka melas dan diketawain murid sekelas, ehh, itu Guru di belakang malah teriak-teriak “mana air matanya?! Air matanyaaa...??!!” 

Cerita nestapa di atas bisa dibaca di blog alay gue yang ini -> klik disini

Well, di situ gue belajar kalo ngomong emang harus sesuai ekspresi. Jangan po-po-po-po-poker face, oke? 

Sekarang ke masa kuliah, kegiatan public speaking hampir selalu kita temui setiap hari di sistem Kurikulum Berbasis Kompetensi sekarang ini. Contoh paling gampangnya adalah presentasi makalah atau tugas kelompok. Gue yakin banget di antara kalian yang baca blog ini, pasti ada tumbal-tumbal yang dijadiin speaker di setiap presentasi kelompok. Atau... jadi tumbal nge-print karena jarang ngerjain tugas akibat kegiatan organisasi? Hahaha... Alesannya sih, begitu. 

Last but not least, yaitu public speaking di dunia kerja. Ini sih tergantung kalian kerja di mana. Tapi, buat gue yang kerja di lapangan dan harus berurusan dengan lintas sektoral (seperti ibu-ibu PKK, RT, RW, kelurahan bahkan sampai kecamatan) kemampuan bicara di depan umum menjadi amat - sangat - wajib digunakan. Mau nggak mau harus bisa. Di sekolah atau kampus, lu bisa mengandalkan orang lain. Kalo di dunia kerja? Googling sendiri jawabannya. 

Intinya, di manapun lu berada, nggak peduli latar belakang, jenis kelamin, usia, golongan darah sampai ukuran celana dalem lu, public speaking itu wajib lu kuasai! Kalo ada netijen bilang ‘ah, public speaking kan buat anak organisasi aja!’ nah, makhluk begini yang harus kita sleding! Jangan pernah berpikir organisator itu pasti bisa ngomong di depan umum. Enggak! Sepengalaman gue organisasi, jadi narasumber bahkan motivator, dari sekian banyak audience yang ada di hadapan gue, yang bakalan ngomong ya orangnya itu-itu lagi. Bener, nggak? Sisanya? Cuma dirinya dan Allah yang tahu. Atau mungkin dia lagi Astral Projection kali. Raganya di depan gue, tapi roh nya lagi jalan-jalan ke mall liat-liat baju diskonan. Apa? Nggak tahu Astral Projection? Nonton Insidious sana! 

Oke cukup mukadimahnya. Sekarang gue bakal ngasih 8 tips dan trik Public Speaking ala gue. Inget loh, ini ‘ala gue’. Jadi semua yang gue jabarkan di bawah itu based on my experience. Segala macam keadaan lapangan, materi, dan kondisi emosional kejiwaan kembali ke masing-masing pembaca. Lanjottt! 


1. Banyak Membaca 

Jeans gue masih sempit. (Doc. Pribadi)
Salah satu hal terpenting bagi seorang public speaker adalah isi otak. Ya, otak yang harus diisi dengan hal-hal bermanfaat seperti beragam ilmu pengetahuan, isu-isu yang terjadi, kondisi lingkungan terkini, sampai hal-hal remeh macam ‘Mana yang lebih dulu, ayam atau telur?’

Sejujurnya, gue banyak mendapat informasi tentang banyak hal lewat membaca. Gue punya banyak tumpukan buku di rumah, entah itu majalah, komik, novel sampai enskiklopedia, semuanya gue baca. Terus, kalo udah bosen baca buku? Ada beberapa website yang bisa jadi rekomendasi ala gue, seperti kaskus.com, anehdidunia.com, indocropcircles.com, dan lain-lain. Sedangkan channel youtube favorite gue seperti Kok Bisa? dan beberapa channel review teknologi terkini. Oh ya, jangan lupakan Line Today untuk berita ringan sehari-hari. Hehehe... 

So, website yang gue sebutin di atas sangat berguna sekali, mereka banyak memberikan informasi yang up to date, unik, dan juga menarik. Seperti yang gue bilang, otak lu itu nggak cuma perlu tahu hal-hal besar aja, tapi hal-hal kecil juga. Asal jangan keseringan baca informasi di akun Lambe Lambe itu, ya! 

Di waktu senggang, gue suka blogwalking tentang fakta-fakta menarik dan juga sejarah tempat-tempat tertentu. Sebagai seorang traveler, modal tahu tempat bersejarah itu membantu banget, guys. Dan dengan banyak membaca, bakal menjadikan lu manusia yang berkualitas, nyambung diajak ngomong, enak diajak diskusi dan bermanfaat untuk orang lain. Inget, public speaker bukan cuma orang yang ‘penuh di mulut’ tapi juga harus ‘penuh di kepala’. 

Jangan jadi tong kosong yang nyaring bunyinya! 


2. Banyak Berlatih 

Eh, ada buah di meja. (Doc. Pribadi)
Setelah menguasai materi, saatnya latihan bicara dan bahasa tubuh. Cara ala gue sih, sering-sering latihan di depan cermin. Serius? Iya, kalo di rumah lagi sepi, gue suka cuap-cuap sendiri di depan kaca. Sambil ngelihat ekspresi dan bahasa tubuh gue sendiri berulang-ulang kali. Ah, kadang botol parfum suka gue jadiin mic. Pokoknya udah kayak lagi presentasi beneran, lah. Hehehe... 

Kalo ditanya, faedahnya apa gue latihan di depan cermin? Jawabannya simple. Gue pingin ngelihat diri gue sendiri sebelum orang lain melihat. Gue pingin ngetawain diri gue sendiri sebelum orang lain ngetawain gue. Intinya, konsep ekspresi dan bahasa tubuh gue sudah direncanakan sebaik mungkin, jangan sampai gue nggak tahu mau ngapain dan akhirnya malah monoton kayak orang pidato. 

Cermin banyak membantu gue menentukan bagaimana gesture saat nada gue naik atau rendah, dan bagaimana ketika gue bergerak kesana kemari. Coba, deh! 

Selain cermin, gue juga suka menghapal apa yang mau gue omongin ketika lagi bawa motor. Yaa, teriak-teriak aja sepanjang jalan. Orang lain mau ngelihatin? Santai, biarin aja, men. Jadi public speaker nggak boleh malu. Orang di jalan juga kagak kenal sama gue. By the way, latihan di jalanan kalo lagi bawa motor sendirian aja ya, jangan pas naek ojek online nanti dikira dia bawa penumpang gila. 


3. Grogi? Mainkan matamu! 

Mata gue lagi ngeliat jendela. (Doc. Pribadi)
Tips berikutnya adalah tentang eye contact dan eye movement. Sejujurnya, buat gue sendiri eye contact itu penting dengan audience biar nggak monoton. Tapi, kadang bagi sebagian orang eye contact juga kayak pedang bermata dua. Iya, kadang kontak mata itu bisa bikin gue blank kalo ternyata gue nggak sengaja tatap-tatapan sama audience yang unyu-unyu. Istilahnya, pesona Adek bisa mengalihkan dunia Abang. 

Oke, sebagai orang yang nggak mau terganggu dengan hal semacam itu, akhirnya gue siasati dengan mengubah objek yang gue lihat. Seperti meja, bangku, dinding, atau benda apapun yang bisa gue jangkau. Yes, itu sangat membantu. Yang penting jangan sampai pandangan gue stuck, berhenti pada suatu hal seperti orang atau makanan. Sungguh, itu jebakan betmen! 

Netijen yang budiman akan berkata : kalo nggak ngelihat ke audience, berarti nggak menghargai audience dong? 

Eittss, tunggu sebentar netijen yang suka suudzon. Yang gue jelasin di atas baru tentang eye contact. Ingat, eye contact itu perlu, tapi bagi gue yang sudah menyadari kelemahan dan akibat jika gue kontak mata pada objek yang salah, maka gue mengganti objeknya. So, jika kalian nggak mengalami masalah kayak gue, nggak perlu ngikutin poin kali ini, ya. 

Balik lagi ke soal menghindari eye contact dengan audience. Sebetulnya gue juga mensiasati hal itu dengan eye movement atau pergerakan mata yang cepat. Seperti gimana caranya membuat seolah-olah kita melihat mereka, padahal enggak. Got it? Jadi seperti menyisir dari kanan ke kiri dengan cepat tanpa terhenti di satu objek. Cara ini ampuh karena gue nggak perlu ngelihatin orang-orang yang bisa saja ekspresinya menggangu. 

Coba, kalo lu lagi presentasi, terus lihat temen lu ngobrol, maen hape, ngantuk, bercanda, itu pasti bakal mengganggu konsentrasi dan mood lu seketika bisa down. Jadi nggak perlu ngelihat hal-hal mengganggu seperti itu. Asyikin aja, ngomong aja terus sampai selesai. Masalah mereka mau dengar atau enggak itu urusan belakangan. Yang penting lu udah menampilkan yang terbaik. 


4. Intonasi 

Bukan acara Mamah Dedeh. (Doc. Pribadi)
Perhatikan baik-baik intonasi di setiap kata yang bakal lu ungkapin. Ada kalanya lu harus bernada tinggi atau rendah tergantung kebutuhan. Oke, sebenarnya gue nggak punya patokan yang pasti untuk poin keempat ini. Semua kembali lagi ke materi apa yang lu bawain dan sejauh mana lu sudah berlatih untuk membaca atau mengungkapkannya sebelum tampil di depan audience

Intonasi ini penting untuk memainkan emosi audience. Kalian bisa membakar mereka dengan kata-kata semangat bernada tinggi, atau menumbuhkan sikap empati mereka dengan nada-nada rendah. Mirip sebuah lagu. Secara nggak langsung perasaan kalian saat bicara pun tersampaikan dengan baik. Kalian pasti paham, lah. Cuma suara cewek di google translate aja yang monoton ya, kalian jangan. 

Jangan. 


5. Mengatasi demam panggung 

Ini namanya demam lantai. (Doc. Pribadi)
Ini poin yang sulit sebenarnya. Kenapa? Soalnya gue sendiri belom bisa mengatasi ini. Jadi gini, tiap kali gue di backstage atau duduk di kursi sebelum tampil, pasti gue gemeteran, kebelet pipis, atau gugup sampai ke ubun-ubun. Tapi, anehnya nggak ada yang percaya. Gue kasih contoh... 

*Kalo jadi MC 

PJ MC : Kak Novel, sebentar lagi masuk, ya? 

Gue : Aduhhh, gugup banget ini, merinding! 

PJ MC : Ahh, masak, sih? Nggak mungkin lah Kak Novel gugup! 

*Kalo jadi pembicara 

PJ Acara : Kak, abis ini Kak Novel, ya? 

Gue : Hah? Duh, kebelet pipis. Deg-degan. Gimana, dong? 

PJ Acara : Ahh mustahil itu sekelas Kak Novel masa gugup. 

End

Wagelaseh kalo gue bilang. Sejujurnya segala hal buruk yang gue rasain sebelum naik panggung itu benar adanya. Real. No tipu-tipu. Bukan bermaksud merendah untuk meninggi. Tapi emang benar-benar terjadi. Sedih, loh. Sampai rasanya kepingin kabur saat itu juga. Huhuhu... 

Contoh lainnya, saat gue masih menjabat sebagai Sekretaris Jenderal di FORKOMPI tahun 2015 silam, beberapa hari sebelum acara Kongres Nasional gue dikasih tahu sama PJ acara untuk orasi di pembukaan nanti. Oh yes, gue langsung nggak bisa tidur berhari-hari. Sampai gue chat mohon-mohon biar di-skip aja orasinya. Tapi, yaa, emang pada dasarnya dia nggak percaya kalo gue ini frustasi disuruh orasi di depan orang banyak, jadi acaranya tetap dilanjut. Ampunnn... 

Tapi, kenapa orang-orang kekeuh kalo nggak ada yang salah sama gue ketika di depan audience? Padahal rasanya perut gue udah mules-mules sampai pingin ngelempar mic ke penonton terus kabur, ganti kewarganegaraan! 

Ini tergantung masing-masing orang, ya. Jawaban gue adalah, terserah gue mau gugup, jantung berdebar, gemeteran, mules, atau apapun, silahkan. Gue akan membiarkan tubuh gue merasakan semua sensasi itu. Tapi, begitu gue udah pegang mic dan kata pertama keluar dari mulut gue, maka disitulah totalitas dan profesionalitas gue mengalahkan segala macam kegundahan yang gue rasakan. Soalnya gue sadar, kalo gue udah pegang mic, udah di atas panggung, artinya udah nggak ada lagi tempat untuk mundur. Yang bisa gue lakukan cuma maju terus nggak peduli apa komentar orang. 

So, intinya kalian nggak perlu menghilangkan rasa-rasa nggak enak itu. Rasakanlah sensasinya. Sebab tidak ada orang yang benar-benar tidak merasa takut di hidupnya, apalagi jika itu dilihat orang banyak. Namun, komitmen pada diri sendiri itu perlu. Ketika sudah di atas panggung dan kesempurnaan menjadi harga mati, di situlah keteguhan hati dibutuhkan. Sembunyikan semua rasa takut itu. Jangan biarkan ada orang lain mengintip bagaimana lemahnya diri lu. Cukup lu yang tahu. Setuju nggak netijen? 


6. Amati, Tiru , Modifikasi 

Audience gue bukan Valak, ya. (Doc. Pribadi)
Sebagai orang yang beranjak dari nol, gue pernah berada di masa gue nggak bisa ngapa-ngapain dalam hal public speaking ini. Jangankan pegang mic, dapat peran di upacara setiap hari senin aja nggak ada yang percaya sama gue. 

Organisasi benar-benar mengubah hidup gue. Gue ketemu banyak orang hebat, yang kalo ngomong itu berisi dan memacu semangat di dalam diri. Setiap mengikuti pelatihan kepemimpinan atau acara nasional, gue selalu memerhatikan orang-orang dan menjadikan mereka role model gue di organisasi. Nggak peduli dia senior atau junior. Kualitas seseorang nggak diukur dari jabatan, usia, atau tingkat. 

Jadi jangan sombong dan berpuas diri. Setelah jadi pembicara kelas nasional bukan berarti tidak ada lagi langit untuk gue lampaui. Saat gue santai-santai, junior-junior gue sedang belajar keras untuk melampaui gue, dan gue juga harus berkembang seperti mereka dengan mencari langit-langit yang lebih tinggi lagi. Bukan nggak mau kalah. Tapi, kita nggak pernah tahu sampai dimana batas-batas diri yang bisa kita tembus! 


7. Interaksi dengan audience 

satu anak, satu ginjal, laku 200 juta. (Doc. Pribadi)
Guys, seorang public speaker itu wajib banget interaksi sama audience. Kenapa? Yaa, emang nggak pegel apa dengerin elu ngomong berjam-jam di depan? Capek, men! Lu bisa mengatasi ini dengan banyak melempar umpan balik ke audience. Terserah. Mau nanya-nanya yang berhubungan dengan materi atau enggak, yang penting bikin orang yang nonton lu itu tertarik untuk tanya jawab dan nggak takut berinteraksi sama lu. 

Banyak speaker yang ngomong ‘kita di sini diskusi, ya?’ tapi kenyataannya mereka nyerocos sendiri sampai orang-orang yang ngelihatin dia itu ngantuk semua. Namanya diskusi itu ya komunikasi dua arah. Dengan banyak omong sendiri akan memberi kesan kalo kita menggurui dan nggak mau meminta pendapat mereka. Inget, umpan balik dari audience itu penting banget. Selain sebagai saran menghindari kantuk sekaligus tanda bahwa mereka memperhatikan lu. 

Asal jangan menjurus ke sexual harassement, flirting, dan SARA aja, ya. Banyak speaker yang nggak sadar kalo mereka bercanda atau intermezzo menjurus ke fliriting dan itu amat sangat nggak sopan. Jadi perhatikan kata-kata lu ketika berinteraksi dengan mereka, ya. Penting! 


8. Sudah siap! 

Siapapun parternya, lanjut aja. (Doc. Pribadi)
Oke, ketika semua persiapan sudah oke, latihan sudah dijalani dan materi sudah dikuasai, sekarang lu udah siap untuk maju! Jangan takut salah, karena memang kodratnya manusia itu tempatnya salah. Inget aja, orang yang berdiri di atas panggung itu lebih keren dari mereka yang nonton di bawah. Hehehe... 



Sekian tips dan trick public speaking ala Kang Opel. Jika kalian punya tips lain soal public speaking ala kalian, silahkan kirim ke DM Instagram ya nanti gue post di postingan blog berikutnya. Semoga bermanfaat. Terima kasih!


2 Hari Jelajah Sumatera Barat

What? Dua hari? Yasss, kalian nggak salah baca. #KangOpelJalanJalan cuma punya waktu dua hari buat menjelajah tiga kota di Sumatera Barat, yaitu Padang, Pariaman dan Bukittinggi pada tanggal 17 dan 18 Februari tahun 2018 lalu. Penasaran gimana serunya? Yuk, gue ceritain!

Gini guys, sebetulnya gue nggak senekat itu pergi jauh-jauh dari Jakarta ke Sumbar cuma buat dua hari doang, karena rencana awal gue itu empat hari. Tapi, tiba-tiba sesuatu menghancurkan rencana indah gue. Ada masalah terjadi. Jadi ceritanya, tunggu sebentar, sedih ini kalo diceritain. Cepat siapin tissue! Oke, oke, gue serius. The truth is, sebelumnya gue udah pesan tiket buat terbang tanggal 15 Februari (Kamis). Tapi, yaa gitu, gue ketinggalan pesawat, men.

GUE KETINGGALAN PESAWAT!

Sengaja gue ulang biar greget.

Jadi ceritanya, (Ah, elah sedih bat diceritain lagi). Gue sama Aji, travelmate gue kali ini, udah janjian mau naik Damri dari stasiun Gambir. Hari itu Jakarta hujan deras banget, banjir dimana-mana. Gue order gojek nggak ada yg mau pick-up. Akhirnya minta tolong OB kantor buat nganterin. Singkat cerita, gue naik DAMRI jam 13.30 dan waktu boarding gue jam 17.15 WIB. Make sense, dong? Gue biasanya naik Damri nggak sampe satu jam ke bandara, jadi ya aman-aman aja.

Pas gue naik DAMRI, kondekturnya ngomong ke penumpang di depan gue. Yang gue denger gini...

"Macet di tol, Pak. Empat jam lagi baru sampai ke bandara."

Gue hening dong. Gue pikir gue salah denger, so gue pastikan lagi pas kondekturnya nagih tiket ke kursi gue.

"Mas, macet emang?" tanya gue.

"Iya, empat jam lagi baru sampai kayaknya."

Wuanzeng. Mampus dong gue. Langsung keringet dingin!

Sekali lagi buat memastikan, gue buka google maps buat lihat kondisi jalan di sana dan ternyata bener, dong! Sepanjang tol ke bandara itu merah dan macet puluhan kilo meter. Mampusss!!!

Kalo netijen pikir gue lebay, gini, macetnya udah dimulai dari masuk tol ancol. Bayangin! Baru keluar pintu tol ancol gue udah stuck nggak gerak! Ah elah, demi kerajaan ubur-ubur, gue sepanjang jalan cuma ngeliatin G-maps dan berharap waktu tempuh empat jam itu bakalan berkurang. Tapi itu nggak terjadi sodara-sodara, bener-bener empat jam gue di jalan!

Ironisnya lagi, gue sampe bandara itu pas jam 17.15 dan itu udah masuk waktu boarding. Eh, ini bus masuk dulu dong ke Terminal 3 Ultimate (mungkin SOP-nya emang begitu). Jadi mau nggak mau habis dari Terminal 3 harus muter balik lagi buat ke Terminal 2 (tujuan gue). Dan kalian tahu? Kena macet lagi dong di puteran bandara. Gue sama Aji udah pucet banget. Hopeless ini, mah. Ya Allah, daku berserah padaMu!

Setelah turun dari bus, kagak pake lama lagi, langsung lari buat check in. Dan... Ditolak, guys!!! Gue disuruh ke office maskapai gue dan tetep aja DI-TO-LAK! Katanya tiket udah hangus. What the Fuuu...?!!!

Seriusan, gue sampe mohon-mohon buat dicariin penerbangan pengganti. Tapi pesawat hari itu udah full booked dan mau nggak mau harus beli tiket untuk hari lain. Oke, gue sanggupin kalo solusinya beli tiket lagi. Tapi yang jadi masalah penerbangan hari itu udah abis. Besoknya? Abis juga! Yang kosong tinggal penerbangan hari sabtu. Hmm, jadi gue harus nunggu dua hari lagi gitu? Gila ini, sih. Tadinya gue mikir buat batal pergi. Tapi masalahnya gue udh booking tiket pulang. Jadi kalo gue nggak jadi pergi, yang hangus bukan tiket pergi aja, tapi tiket pulang juga! Gini nih, sudah jatuh ketimpa pesawat pula! 

"Pak, tolong, nenek saya meninggal! Sedih, Pak! Jadi saya nggak diijinin buat ketemu nenek saya buat yang terakhir kalinya, nih?!" kata Aji ke petugas bandara. Wadefak. Asli, gue mau ngakak. Alesan macem apa, tuh!

Setelah gue dan Aji diskusi, akhirnya kami putuskan buat merelakan tiket yang hangus ini. Yaa, bete sih. Ini pertama kalinya gue ketinggalan pesawat. Sekilas sebelum gue meninggalkan bandara, gue denger ada bapak-bapak teriak...

"Kalian delay sampai tiga jam aja kami tungguin, sekarang saya telat lima menit aja kalian tinggal?! Gila apa....?!!!"

Gue senyumin aja.

So, sekarang gue nggak berani pulang ke rumah. Hahaha... Serius, bisa diomelin kalo gue bilang ketinggalan pesawat. Alhasil, gue sama Aji ngungsi dulu ke sekret BEM Poltekkes Jakarta 2. Sambil bawa-bawa koper udah kayak pengungsi beneran. Dan ujung-ujungnya, kami sepakat buat beli tiket lagi di hari sabtu. Yap, niat ke Sumatera Barat harus tetap kami realisasikan! Fighting!


Day 1

Setelah cari-cari tiket, adanya penerbangan sore pukul empat. Dan karena trauma ditinggal pesawat, akhirnya kami udah di bandara sejak jam sebelas siang. Alhamdulillah, nggak ada drama delay segala. Habis boarding langsung disuruh naik pesawat. Gue bukannya mau endorse, tapi pelayanan maskapai yang satu ini emang jempol banget, lah. Penasaran? Coba lihat warna seragam pramugarinya. Hehehe...

Beda maskapai sama yang ninggalin kemarin. (Doc. Pribadi)
Setelah dua jam mengudara, akhirnya kami sampai di Bandara Minangkabau. Finally! Halo, Sumatera Barat! Setelah antre buat ambil koper kami langsung menuju parkiran bandara, dan di sana sudah ada yang menunggu kami. Ada Jihan (Uniji) dan Habibie. Mereka adalah Purna BEM Poltekkes Kemenkes Padang tahun lalu yang bakal nemenin kami jalan-jalan di kota asal mula rendang ini!

FYI guys, Uniji adalah Menteri Luar Negeri BEM Poltekkes Kemenkes Padang tahun 2017. Salah satu pengurus FORKOMPI periode 2016/2017. Gue pertama kali ketemu Uniji di Kongres Nasional FORKOMPI di Aceh tahun 2016 lalu. Sedangkan Habibie adalah Wakil Presiden Mahasiswa Poltekkes Kemenkes Padang tahun 2017. Sebelumnya pun, udah banyak banget kenalan dari Poltekkes Padang selama berkecimpung di organisasi nasional. Sayangnya, cuma mereka aja yang punya waktu untuk menemani gue selama di sini. Yaa, itu aja udah cukup banget!

Selanjutnya kami naik mobil dari aplikasi ojek online menuju tempat penginapan. Asli, jauh banget jarak dari bandara sampai masuk ke kota. Sekitar satu jam! Sepanjang jalan, yang gue lihat itu pemukiman penduduk yang jarang-jarang dan cenderung gelap (saat itu maghrib). Intinya, pandangan saat itu memang terbatas banget.

Sampai di wisma, hujan turun lebat banget. Wisma yang gue tempatin ini namanya 'Penginapan Islami Halwa, di Jalan Raya Pagang - Siteba Padang, dengan tarif 150,000,- permalam dan kami dapat kamar di lantai dua. Uniji dan Habibie pamit pulang sebentar sekalian beli makan malam. Serius, hujan turun sepanjang malam. Deras banget. Tadinya kami mau jalan-jalan di sekitar sini tapi akhirnya cuma bisa diam di kamar. Sedih. Huhuhu...

Sejam kemudian makanan datang. Uniji bawain nasi padang. Dan... Buset! Banyak banget! Ini dua kali lipat porsi nasi padang kalo beli di Jakarta dan dibawa pulang. Tambuah ciek!

Bisa untuk jatah makan tiga orang. (Doc. Pribadi)
Gue sama Aji melewati malam di tengah hujan lebat. Saat pagi menjelang, pemandangan yang super indah tersaji dengan apik di belakang wisma. See? Hamparan persawahan luas ditemani Bukit Barisan memanjakan mata di kala matahari terbit di cakrawala. Sempurna bagai lukisan. Semoga hari ini cerah!

Bukit Barisan. (Doc. Pribadi)
Setelah diskusi dan memperhitungkan waktu hari ini, akhirnya perjalanan kami dimulai. Ada dua sepeda motor. Gue sama Uniji dan Aji dengan Habibie. Kami memacu motor menelusuri pusat kota Padang. Sesekali Uniji bercerita tentang kondisi saat padang dilanda gempa hebat, beberapa tahun silam.

“Di sepanjang jalan ini dulu rata sama tanah, Kang!” ungkapnya.

Gue memerhatikan bangunan-bangunan di sekililing dengan seksama. Memang, sekarang semua tampak normal-normal saja, nggak ada lagi bangunan porak poranda di sepanjang jalan. Siapa sangka? Mungkin bekas-bekas fisiknya sudah hilang, namun ingatan akan kejadian itu masih membekas di masyarakat Padang sampai hari ini.

Oke, saatnya pemberhentian pertama!


1. Masjid Raya Sumatera Barat, Padang

Masjid Raya Sumatera Barat. (Doc. Pribadi)
Sekitar sepuluh menit naik motor, kami melipir ke Jalan Khatib Sulaiman, Alai Parak Kopi, Padang Utara. Gue lihat, ada sebuah bangunan besar nan megah yang berdiri kokoh dengan atap khas rumah gadang menjulang tinggi di atasnya. Ya, itulah kesan pertama yang gue rasakan ketika melihat Masjid Raya Sumatera Barat. Masjid terbesar di Sumatera Barat. Sebuah arsitektur yang luar biasa cantik. Meskipun mengadopsi bentuk rumah gadang, namun kesan modern tetap terasa ketika memandanginya. Rancak bana!

Ketika bekeliling di sekitar masjid kita baru menyadari atap yang semula terlihat seperti atap rumah gadang, ternyata tidak demikian. Menurut Mbah Wikipedia, atap masjid ini menggambarkan bentangan kain yang digunakan untuk mengusung Hajar Aswad ketika hendak dipindahkan setelah renovasi Kabbah. Sehingga bisa diusung bersama oleh setiap perwakilan dari kabilah dengan memegang masing-masing sudut kain. Menarik, bukan?

Masjid Raya Sumatera Barat. (Doc. Pribadi)
Tidak jauh dari Masjid Raya Sumatera Barat terdapat Pantai Purus, atau yang biasa disebut 'Taplau' yang tadinya mau kami datangi, tapi nggak jadi. Soalnya pantai itu ramai banget! Asli, ratusan orang ada di sana kali, ya. Maklum, hari libur memang dimanfaatkan banyak keluarga untuk berwisata. Jadi, akses jalannya juga sedikit padat. 

“Kita mau kemana jadinya, Kang?” tanya Uniji.

“Langsung ke Pariaman aja, ya?” Usul gue.

“Boleh, Kang!” sahutnya.

Setelah diskusi sama Habibie akhirnya kami melanjutkan perjalanan ke Pariaman. Sumpah guys, dari Padang ke Pariaman itu jauh banget. Sekitar satu jam lebih gue memacu motor. Ugghhh... Kalo pantat gue bisa ngomong, pasti bakal menjerit!


2. Pulau Anso Duo, Pariaman

Jadi, rencana awal kami ke Pariaman sebenernya mau ke pantai aja. Tapi, semenjak sampai di sini dan menyusuri jalanan sepanjang Pantai Pariaman, ada sesuatu yang menarik perhatian gue. Ada beberapa pulau yang kayaknya instagramable banget dan jaraknya juga nggak begitu jauh dari bibir pantai. Akhirnya gue coba tanya-tanya ke Uniji.

“Uniji itu pulau apa?”

“Pulau Anso Duo, Kang.” Jawabnya.

Gue langsung merajuk. “Mau kesana...”

“Tapi kalo ke sana, waktu kita buat ke bukittinggi jadi sempit.”

Ah, benar juga. Tapi gue pingin banget ke sana. Aji sih ngikut aja. Akhirnya kami diskusi lagi. Dan karena tujuan gue cuma foto-foto aja, kayaknya nggak bakal makan waktu banyak dan masih sempat untuk main ke Bukittinggi. Oke, kami langsung parkir motor di dermaga di Pantai Gandoria dan membayar Rp35,000,- per orang untuk tiket pulang-pergi dengan perahu kayu. Oh ya, di sini tersedia banyak perahu jadi jangan takut ketinggalan atau kehabisan. Fasilitas di perahu berkapasitas sepuluh orang ini juga standar-standar saja. Eitss, jangan lupa untuk memakai safety jacket selama di perjalanan, ya. Semoga nggak mengecewakan!


Tampak depan Pulau Anso Duo. (Doc. Pribadi)
Setelah menempuh waktu tiga puluh menit dari bibir Pantai Gandoria, akhirnya kami sampai di dermaga Pulau Anso Duo. Saat turun dari perahu, kami langsung disambut oleh hamparan pasir putih yang terasa lengkap oleh air laut biru berombak kecil. 

Ada beberapa hal menarik selama gue menyusuri pulau yang didominasi pohon kelapa ini. Contohnya, ada ayunan di atas air (seperti di Pantai Gili Trawangan) yang bisa kalian gunakan setelah membayar Rp5,000,- untuk berfoto sepuasnya. Lalu ada makam berusia ratusan tahun yang diyakini milik Syekh Katik Sangko (kerabat Syekh Burhanuddin, ulama penyebar Islam di Minangkabau) yang sering dikaitkan dengan mitos asal mula nama Pulau Anso Duo, yakni petunjuk berupa awan berbentuk angsa yang membawa sang ulama untuk datang dan menetap di pulau itu.

Pulau Anso Duo. (Doc. Pribadi)
Hal menarik selanjutnya, ada mitos yang mengatakan kalo kita memutari pulau ini dengan berjalan kaki sambil berdoa maka permohonan kita akan terwujud! Asyik, kan? Gue udah muterin pulau ini, tapi nggak minta apa-apa, sih. Nyesel Abang, Dek. Someday, bisa nggak sih gue balik ke sini lagi terus berdoa supaya jadi kaya raya tanpa kerja? Huhuhu... 

Becanda. Siko lah!


3. Jam Gadang, Bukittinggi

Onde mande! Guys, kalo gue bilang jalan dari Padang ke Pariaman itu bikin pantat gue menjerit, sekarang perjalanan dari Pariaman ke Bukittinggi bikin pantat gue melebur sama jok motor! Almost dua jam gue di atas motor! Onde mande!

Air terjun di pinggir jalan. (Doc. Pribadi)
Di perjalanan ke Bukittingi, kami melewati Air Terjun Lembah Anai, salah satu air terjun kebanggaan orang Sumatera Barat. FYI, air terjun ini berada tepat di pinggir jalan raya Trans Sumatera yang menghubungkan Padang dengan Bukittinggi, tepatnya di Nagari Singgalang, Kecamatan Sepuluh Koto, Kabupaten Tanah Datar, Provinsi Sumatera Barat.

Jalan Raya Trans Sumatera ini didominasi perbukitan curam yang dikelilingi oleh hutan lebat. Sejak dari Pariaman, Uniji yang pegang kemudi. Dia bilang medan jalan ke Bukittinggi itu nggak biasa dan berbahaya! Gue sih mikirnya Uniji minta gantian karena gue lambat bawa motornya. Huhuhu...

Tapi emang terbukti, kondisi jalannya benar-benar berkelok dan naik turun. Terlebih lagi banyak bus dan mobil besar di jalur ini. Di sisi kanan terdapat jurang yang di bawahnya ada sungai besar. Selain itu ada rel kereta yang sepertinya sudah tidak dipakai.

Jam Gadang. (Doc. Pribadi)
Sampai di Jam Gadang, hujan turun lebat. Memang, sejak di perjalanan kami sudah dikejar awan hitam dan kabut yang bergulung-gulung setelah menuruni bukit. By the way, gue punya pertanyaan, kenapa foto di atas sepi dan nggak ada orang? Ayo, netijen yang bisa jawab bakal gue ketjup manjah! (auto disleding netijen)

Oke, jawabannya karena saat itu sedang hujan dan gue hujan-hujanan! Asli, nggak berhenti hujannya, bahkan sampai gue belanja oleh-oleh di Pasar Atas dan pulang lagi, tetap nggak berhenti! Kacaunya lagi, di Lembah Anai kami kena badai dan terpisah sama Aji dan Habibie. Gue udah banyak-banyak doa aja sepanjang jalan. Ya Allah, gue masih banyak dosa, kalo mati nanti gimana? Kalo Aji kenapa-kenapa gue bilang apa nanti sama keluarganya? Udah serem banget jalanan itu. Benar-benar badai! Uniji strong banget, lah! Dia ngelewatin jalan berliku naik turun lembah di kondisi begitu dengan sigap dan tepat. You saved my life! Terima kasih Uniji!

Mari pulang, marilah pulang. (Doc. Pribadi)
Akhir kata, perjalanan selama dua hari (bahkan cuma satu hari!) di Sumatera Barat ini benar-benar berkesan sekali. Capek? Banget! Tapi nggak sebanding dengan apa yang gue, Aji, Uniji dan Habibie lalui hari ini. Semua benar-benar terbayar. Sangat berarti dan bikin pingin kembali lagi!

Satu hal lagi, selama menunggu boarding di bandara, tiba-tiba ada seseorang yang gue nggak kenal datang menghampiri.

"Kang Novel?!" sapanya agak terkejut sambil menjabat tangan gue.

"Iyaaa...?" sahut gue dengan muka bingung. Sapose deseu?

Dia menyebut nama tapi gue denegrnya nggak jelas. Yang jelas cuma "Saya dari Poltekkes Bandung, Kang!"

Wow!

"Tadi dari jauh saya lihat orang pakai jaket FORKOMPI, nggak tahunya itu Kang Novel. Alhamdulillah!" sambungnya lagi.

Gue speechless. Di satu sisi gue kaget, soalnya lagi di kota orang dan gue malah ketemu teman dari kota yang lain pula. Di sisi lain gue terharu, karena identitas berupa jaket parka FORKOMPI ini berhasil menghubungkan seluruh orang di Nusantara. Gue nggak kenal dia, tapi dia tahu dan mengenali gue karena jaket hijau ini. Masya Allah. Sungguh, organisasi membuat yang jauh terasa dekat dan membuat yang tidak mengenal menjadi keluarga. Salam Nusantara!

Terima kasih!


Galeri

Aji, Uniji dan Om om gempal. (Doc. Pribadi)
Si Gendud, Habibie dan Uniji. (Doc. Pribadi)