What? Dua hari? Yasss, kalian nggak salah baca. #KangOpelJalanJalan cuma punya waktu dua hari buat menjelajah tiga kota di Sumatera Barat, yaitu Padang, Pariaman dan Bukittinggi pada tanggal 17 dan 18 Februari tahun 2018 lalu. Penasaran gimana serunya? Yuk, gue ceritain!
Gini guys, sebetulnya gue nggak senekat itu pergi jauh-jauh dari Jakarta ke Sumbar cuma buat dua hari doang, karena rencana awal gue itu empat hari. Tapi, tiba-tiba sesuatu menghancurkan rencana indah gue. Ada masalah terjadi. Jadi ceritanya, tunggu sebentar, sedih ini kalo diceritain. Cepat siapin tissue! Oke, oke, gue serius. The truth is, sebelumnya gue udah pesan tiket buat terbang tanggal 15 Februari (Kamis). Tapi, yaa gitu, gue ketinggalan pesawat, men.
GUE KETINGGALAN PESAWAT!
Sengaja gue ulang biar greget.
Jadi ceritanya, (Ah, elah sedih bat diceritain lagi). Gue sama Aji, travelmate gue kali ini, udah janjian mau naik Damri dari stasiun Gambir. Hari itu Jakarta hujan deras banget, banjir dimana-mana. Gue order gojek nggak ada yg mau pick-up. Akhirnya minta tolong OB kantor buat nganterin. Singkat cerita, gue naik DAMRI jam 13.30 dan waktu boarding gue jam 17.15 WIB. Make sense, dong? Gue biasanya naik Damri nggak sampe satu jam ke bandara, jadi ya aman-aman aja.
Pas gue naik DAMRI, kondekturnya ngomong ke penumpang di depan gue. Yang gue denger gini...
"Macet di tol, Pak. Empat jam lagi baru sampai ke bandara."
Gue hening dong. Gue pikir gue salah denger, so gue pastikan lagi pas kondekturnya nagih tiket ke kursi gue.
"Mas, macet emang?" tanya gue.
"Iya, empat jam lagi baru sampai kayaknya."
Wuanzeng. Mampus dong gue. Langsung keringet dingin!
Sekali lagi buat memastikan, gue buka google maps buat lihat kondisi jalan di sana dan ternyata bener, dong! Sepanjang tol ke bandara itu merah dan macet puluhan kilo meter. Mampusss!!!
Kalo netijen pikir gue lebay, gini, macetnya udah dimulai dari masuk tol ancol. Bayangin! Baru keluar pintu tol ancol gue udah stuck nggak gerak! Ah elah, demi kerajaan ubur-ubur, gue sepanjang jalan cuma ngeliatin G-maps dan berharap waktu tempuh empat jam itu bakalan berkurang. Tapi itu nggak terjadi sodara-sodara, bener-bener empat jam gue di jalan!
Ironisnya lagi, gue sampe bandara itu pas jam 17.15 dan itu udah masuk waktu boarding. Eh, ini bus masuk dulu dong ke Terminal 3 Ultimate (mungkin SOP-nya emang begitu). Jadi mau nggak mau habis dari Terminal 3 harus muter balik lagi buat ke Terminal 2 (tujuan gue). Dan kalian tahu? Kena macet lagi dong di puteran bandara. Gue sama Aji udah pucet banget. Hopeless ini, mah. Ya Allah, daku berserah padaMu!
Setelah turun dari bus, kagak pake lama lagi, langsung lari buat check in. Dan... Ditolak, guys!!! Gue disuruh ke office maskapai gue dan tetep aja DI-TO-LAK! Katanya tiket udah hangus. What the Fuuu...?!!!
Seriusan, gue sampe mohon-mohon buat dicariin penerbangan pengganti. Tapi pesawat hari itu udah full booked dan mau nggak mau harus beli tiket untuk hari lain. Oke, gue sanggupin kalo solusinya beli tiket lagi. Tapi yang jadi masalah penerbangan hari itu udah abis. Besoknya? Abis juga! Yang kosong tinggal penerbangan hari sabtu. Hmm, jadi gue harus nunggu dua hari lagi gitu? Gila ini, sih. Tadinya gue mikir buat batal pergi. Tapi masalahnya gue udh booking tiket pulang. Jadi kalo gue nggak jadi pergi, yang hangus bukan tiket pergi aja, tapi tiket pulang juga! Gini nih, sudah jatuh ketimpa pesawat pula!
"Pak, tolong, nenek saya meninggal! Sedih, Pak! Jadi saya nggak diijinin buat ketemu nenek saya buat yang terakhir kalinya, nih?!" kata Aji ke petugas bandara. Wadefak. Asli, gue mau ngakak. Alesan macem apa, tuh!
Setelah gue dan Aji diskusi, akhirnya kami putuskan buat merelakan tiket yang hangus ini. Yaa, bete sih. Ini pertama kalinya gue ketinggalan pesawat. Sekilas sebelum gue meninggalkan bandara, gue denger ada bapak-bapak teriak...
"Kalian delay sampai tiga jam aja kami tungguin, sekarang saya telat lima menit aja kalian tinggal?! Gila apa....?!!!"
Gue senyumin aja.
So, sekarang gue nggak berani pulang ke rumah. Hahaha... Serius, bisa diomelin kalo gue bilang ketinggalan pesawat. Alhasil, gue sama Aji ngungsi dulu ke sekret BEM Poltekkes Jakarta 2. Sambil bawa-bawa koper udah kayak pengungsi beneran. Dan ujung-ujungnya, kami sepakat buat beli tiket lagi di hari sabtu. Yap, niat ke Sumatera Barat harus tetap kami realisasikan! Fighting!
Day 1
Setelah cari-cari tiket, adanya penerbangan sore pukul empat. Dan karena trauma ditinggal pesawat, akhirnya kami udah di bandara sejak jam sebelas siang. Alhamdulillah, nggak ada drama delay segala. Habis boarding langsung disuruh naik pesawat. Gue bukannya mau endorse, tapi pelayanan maskapai yang satu ini emang jempol banget, lah. Penasaran? Coba lihat warna seragam pramugarinya. Hehehe...
Beda maskapai sama yang ninggalin kemarin. (Doc. Pribadi) |
Setelah dua jam mengudara, akhirnya kami sampai di Bandara Minangkabau. Finally! Halo, Sumatera Barat! Setelah antre buat ambil koper kami langsung menuju parkiran bandara, dan di sana sudah ada yang menunggu kami. Ada Jihan (Uniji) dan Habibie. Mereka adalah Purna BEM Poltekkes Kemenkes Padang tahun lalu yang bakal nemenin kami jalan-jalan di kota asal mula rendang ini!
FYI guys, Uniji adalah Menteri Luar Negeri BEM Poltekkes Kemenkes Padang tahun 2017. Salah satu pengurus FORKOMPI periode 2016/2017. Gue pertama kali ketemu Uniji di Kongres Nasional FORKOMPI di Aceh tahun 2016 lalu. Sedangkan Habibie adalah Wakil Presiden Mahasiswa Poltekkes Kemenkes Padang tahun 2017. Sebelumnya pun, udah banyak banget kenalan dari Poltekkes Padang selama berkecimpung di organisasi nasional. Sayangnya, cuma mereka aja yang punya waktu untuk menemani gue selama di sini. Yaa, itu aja udah cukup banget!
Selanjutnya kami naik mobil dari aplikasi ojek online menuju tempat penginapan. Asli, jauh banget jarak dari bandara sampai masuk ke kota. Sekitar satu jam! Sepanjang jalan, yang gue lihat itu pemukiman penduduk yang jarang-jarang dan cenderung gelap (saat itu maghrib). Intinya, pandangan saat itu memang terbatas banget.
Sampai di wisma, hujan turun lebat banget. Wisma yang gue tempatin ini namanya 'Penginapan Islami Halwa, di Jalan Raya Pagang - Siteba Padang, dengan tarif 150,000,- permalam dan kami dapat kamar di lantai dua. Uniji dan Habibie pamit pulang sebentar sekalian beli makan malam. Serius, hujan turun sepanjang malam. Deras banget. Tadinya kami mau jalan-jalan di sekitar sini tapi akhirnya cuma bisa diam di kamar. Sedih. Huhuhu...
Sejam kemudian makanan datang. Uniji bawain nasi padang. Dan... Buset! Banyak banget! Ini dua kali lipat porsi nasi padang kalo beli di Jakarta dan dibawa pulang. Tambuah ciek!
Bisa untuk jatah makan tiga orang. (Doc. Pribadi) |
Gue sama Aji melewati malam di tengah hujan lebat. Saat pagi menjelang, pemandangan yang super indah tersaji dengan apik di belakang wisma. See? Hamparan persawahan luas ditemani Bukit Barisan memanjakan mata di kala matahari terbit di cakrawala. Sempurna bagai lukisan. Semoga hari ini cerah!
Bukit Barisan. (Doc. Pribadi) |
Setelah diskusi dan memperhitungkan waktu hari ini, akhirnya perjalanan
kami dimulai. Ada dua sepeda motor. Gue sama Uniji dan Aji dengan Habibie. Kami
memacu motor menelusuri pusat kota Padang. Sesekali Uniji bercerita tentang
kondisi saat padang dilanda gempa hebat, beberapa tahun silam.
“Di sepanjang jalan ini dulu rata sama tanah, Kang!” ungkapnya.
Gue memerhatikan bangunan-bangunan di sekililing dengan seksama. Memang,
sekarang semua tampak normal-normal saja, nggak ada lagi bangunan porak poranda
di sepanjang jalan. Siapa sangka? Mungkin bekas-bekas fisiknya sudah hilang,
namun ingatan akan kejadian itu masih membekas di masyarakat Padang sampai hari
ini.
Oke, saatnya pemberhentian pertama!
1. Masjid Raya Sumatera Barat, Padang
Masjid Raya Sumatera Barat. (Doc. Pribadi) |
Sekitar sepuluh menit naik motor, kami melipir ke Jalan Khatib Sulaiman, Alai Parak Kopi, Padang Utara. Gue lihat,
ada sebuah bangunan besar nan megah yang berdiri kokoh dengan atap khas rumah
gadang menjulang tinggi di atasnya. Ya, itulah kesan pertama yang gue rasakan
ketika melihat Masjid Raya Sumatera Barat. Masjid terbesar di Sumatera
Barat. Sebuah arsitektur yang luar biasa cantik. Meskipun mengadopsi bentuk
rumah gadang, namun kesan modern tetap terasa ketika memandanginya. Rancak bana!
Ketika bekeliling di sekitar masjid kita baru menyadari atap yang semula
terlihat seperti atap rumah gadang, ternyata tidak demikian. Menurut Mbah
Wikipedia, atap masjid ini menggambarkan bentangan kain yang digunakan untuk
mengusung Hajar Aswad ketika hendak dipindahkan setelah renovasi Kabbah.
Sehingga bisa diusung bersama oleh setiap perwakilan dari kabilah dengan
memegang masing-masing sudut kain. Menarik, bukan?
Masjid Raya Sumatera Barat. (Doc. Pribadi) |
Tidak jauh dari Masjid Raya Sumatera Barat terdapat Pantai Purus, atau yang biasa disebut 'Taplau' yang tadinya mau
kami datangi, tapi nggak jadi. Soalnya pantai itu ramai banget! Asli,
ratusan orang ada di sana kali, ya. Maklum, hari libur memang dimanfaatkan
banyak keluarga untuk berwisata. Jadi, akses jalannya juga sedikit padat.
“Kita mau kemana jadinya, Kang?” tanya Uniji.
“Langsung ke Pariaman aja, ya?” Usul gue.
“Boleh, Kang!” sahutnya.
Setelah diskusi sama Habibie akhirnya kami melanjutkan perjalanan ke
Pariaman. Sumpah guys, dari Padang ke Pariaman itu jauh banget. Sekitar satu jam lebih gue memacu motor. Ugghhh... Kalo pantat gue bisa ngomong, pasti bakal menjerit!
2. Pulau Anso Duo, Pariaman
Jadi, rencana awal kami ke Pariaman sebenernya mau ke pantai aja. Tapi,
semenjak sampai di sini dan menyusuri jalanan sepanjang Pantai Pariaman, ada sesuatu yang menarik perhatian gue. Ada beberapa pulau yang
kayaknya instagramable banget dan jaraknya juga nggak begitu jauh dari bibir pantai. Akhirnya
gue coba tanya-tanya ke Uniji.
“Uniji itu pulau apa?”
“Pulau Anso Duo, Kang.” Jawabnya.
Gue langsung merajuk. “Mau kesana...”
“Tapi kalo ke sana, waktu kita buat ke bukittinggi jadi sempit.”
Ah, benar juga. Tapi gue pingin banget ke sana. Aji sih ngikut aja.
Akhirnya kami diskusi lagi. Dan karena tujuan gue cuma foto-foto aja, kayaknya nggak bakal makan waktu banyak dan masih sempat untuk main ke Bukittinggi. Oke,
kami langsung parkir motor di dermaga di Pantai Gandoria dan membayar Rp35,000,-
per orang untuk tiket pulang-pergi dengan perahu kayu. Oh ya, di sini tersedia banyak perahu jadi jangan takut ketinggalan atau kehabisan. Fasilitas di perahu berkapasitas sepuluh orang ini juga standar-standar saja. Eitss, jangan lupa untuk memakai safety jacket selama di perjalanan, ya. Semoga nggak mengecewakan!
Tampak depan Pulau Anso Duo. (Doc. Pribadi) |
Setelah menempuh waktu tiga puluh menit dari bibir Pantai Gandoria, akhirnya kami sampai di dermaga Pulau Anso Duo. Saat turun dari perahu, kami langsung disambut oleh hamparan pasir putih yang terasa lengkap oleh air laut biru berombak kecil.
Ada beberapa hal menarik selama gue menyusuri pulau yang didominasi pohon kelapa ini. Contohnya, ada ayunan di atas air (seperti di Pantai Gili Trawangan) yang bisa kalian gunakan setelah membayar Rp5,000,- untuk berfoto sepuasnya. Lalu ada makam berusia ratusan tahun yang diyakini milik Syekh Katik Sangko (kerabat Syekh Burhanuddin, ulama penyebar Islam di Minangkabau) yang sering dikaitkan dengan mitos asal mula nama Pulau Anso Duo, yakni petunjuk berupa awan berbentuk angsa yang membawa sang ulama untuk datang dan menetap di pulau itu.
Pulau Anso Duo. (Doc. Pribadi) |
Hal menarik selanjutnya, ada mitos yang mengatakan kalo kita memutari pulau ini dengan berjalan kaki sambil berdoa maka permohonan kita akan terwujud! Asyik, kan? Gue udah muterin pulau ini, tapi nggak minta apa-apa, sih. Nyesel Abang, Dek. Someday, bisa nggak sih gue balik ke sini lagi terus berdoa supaya jadi kaya raya tanpa kerja? Huhuhu...
Becanda. Siko lah!
3. Jam Gadang, Bukittinggi
Onde mande! Guys, kalo gue bilang jalan dari Padang ke Pariaman itu bikin pantat gue menjerit, sekarang perjalanan dari Pariaman ke Bukittinggi bikin pantat gue melebur sama jok motor! Almost dua jam gue di atas motor! Onde mande!
Air terjun di pinggir jalan. (Doc. Pribadi) |
Di perjalanan ke Bukittingi, kami melewati Air Terjun Lembah Anai, salah satu air terjun kebanggaan orang Sumatera Barat. FYI, air terjun ini berada tepat di pinggir jalan raya Trans Sumatera yang menghubungkan Padang dengan Bukittinggi, tepatnya di Nagari Singgalang, Kecamatan Sepuluh Koto, Kabupaten Tanah Datar, Provinsi Sumatera Barat.
Jalan Raya Trans Sumatera ini didominasi perbukitan curam yang dikelilingi oleh hutan lebat. Sejak dari Pariaman, Uniji yang pegang kemudi. Dia bilang medan jalan ke Bukittinggi itu nggak biasa dan berbahaya! Gue sih mikirnya Uniji minta gantian karena gue lambat bawa motornya. Huhuhu...
Tapi emang terbukti, kondisi jalannya benar-benar berkelok dan naik turun. Terlebih lagi banyak bus dan mobil besar di jalur ini. Di sisi kanan terdapat jurang yang di bawahnya ada sungai besar. Selain itu ada rel kereta yang sepertinya sudah tidak dipakai.
Jam Gadang. (Doc. Pribadi) |
Sampai di Jam Gadang, hujan turun lebat. Memang, sejak di perjalanan kami sudah dikejar awan hitam dan kabut yang bergulung-gulung setelah menuruni bukit. By the way, gue punya pertanyaan, kenapa foto di atas sepi dan nggak ada orang? Ayo, netijen yang bisa jawab bakal gue ketjup manjah! (auto disleding netijen)
Oke, jawabannya karena saat itu sedang hujan dan gue hujan-hujanan! Asli, nggak berhenti hujannya, bahkan sampai gue belanja oleh-oleh di Pasar Atas dan pulang lagi, tetap nggak berhenti! Kacaunya lagi, di Lembah Anai kami kena badai dan terpisah sama Aji dan Habibie. Gue udah banyak-banyak doa aja sepanjang jalan. Ya Allah, gue masih banyak dosa, kalo mati nanti gimana? Kalo Aji kenapa-kenapa gue bilang apa nanti sama keluarganya? Udah serem banget jalanan itu. Benar-benar badai! Uniji strong banget, lah! Dia ngelewatin jalan berliku naik turun lembah di kondisi begitu dengan sigap dan tepat. You saved my life! Terima kasih Uniji!
Mari pulang, marilah pulang. (Doc. Pribadi) |
Akhir kata, perjalanan selama dua hari (bahkan cuma satu hari!) di Sumatera Barat ini benar-benar berkesan sekali. Capek? Banget! Tapi nggak sebanding dengan apa yang gue, Aji, Uniji dan Habibie lalui hari ini. Semua benar-benar terbayar. Sangat berarti dan bikin pingin kembali lagi!
Satu hal lagi, selama menunggu boarding di bandara, tiba-tiba ada seseorang yang gue nggak kenal datang menghampiri.
"Kang Novel?!" sapanya agak terkejut sambil menjabat tangan gue.
"Iyaaa...?" sahut gue dengan muka bingung. Sapose deseu?
Dia menyebut nama tapi gue denegrnya nggak jelas. Yang jelas cuma "Saya dari Poltekkes Bandung, Kang!"
Wow!
"Tadi dari jauh saya lihat orang pakai jaket FORKOMPI, nggak tahunya itu Kang Novel. Alhamdulillah!" sambungnya lagi.
Gue speechless. Di satu sisi gue kaget, soalnya lagi di kota orang dan gue malah ketemu teman dari kota yang lain pula. Di sisi lain gue terharu, karena identitas berupa jaket parka FORKOMPI ini berhasil menghubungkan seluruh orang di Nusantara. Gue nggak kenal dia, tapi dia tahu dan mengenali gue karena jaket hijau ini. Masya Allah. Sungguh, organisasi membuat yang jauh terasa dekat dan membuat yang tidak mengenal menjadi keluarga. Salam Nusantara!
Terima kasih!
Galeri
Aji, Uniji dan Om om gempal. (Doc. Pribadi) |
Si Gendud, Habibie dan Uniji. (Doc. Pribadi) |
No comments:
Post a Comment