Rasanya Jadi Anak Arsitek? Pusing!


Halo, ketemu lagi sama postingan Kang Opel, dan maaf banget tiga minggu kemarin nggak posting di sini karena kerjaan gue emang lagi hectic banget, banget, banget! Yaa, emang sih, siapa suruh jadi tenaga kesehatan yang setiap hari kudu turun ke lapangan? Tapi kalo gue boleh cerita, dulu sama sekali nggak ada tuh pikiran buat jadi tenaga kesehatan, dan apa itu Poltekkes? Gue nggak kenal sama kampus itu. Sama kayak kalian, kan? Hahaha...

Di sini gue nggak bakal ceritain alasan ‘kenapa gue masuk Poltekkes’, karena semua itu udah gue tulis lengkap di sebuah novel berjudul ‘Once Every Four Years’ yang berisi 850 halaman tentang 5W 1H kenapa gue bisa masuk Poltekkes, gabung organisasi, pergi ke nasional sampai jadi Sekeretaris Jenderal. Oh ya, kalian nggak bakal menemukan tulisan itu dimanapun karena orang yang bisa membaca cerita itu amat sangat terbatas. Kenapa? Karena isi tulisannya bisa membuat pikiran kalian ‘jungkir balik’ dan bisa-bisa nggak balik lagi. Serius!

Gue lagi migrain tapi mau gebuk maling
Sekarang balik lagi ke kisah masa lampau, di mana gue baru lulus SMA dan bingung memutuskan kuliah di mana, jurusannya apa, prospek kedepan bagus apa enggak, yaa pokoknya rumit pikiran ABG jaman dulu. Oke, daripada lama-lama, langsung aja gue ceritain. Hope you enjoy this story, let’s check this out!

Nb : Gue cuma bisa menemukan sedikit dokumentasi itupun dengan resolusi rendah. Mohon maaf atas keterbatasan gambar dan cerita.


1. Impian Masa Kecil

Gue mau meluruskan dulu soal identitas gue. Pertama, gue lahir tahun 1992 yang artinya umur gue sekarang (saat gue mengetik ini) adalah 26 tahun. Kedua, gue lulus SMA tahun 2010 dan masuk ke Poltekkes tahun 2012. Got it? Ada jeda dua tahun di antara gue lulus SMA sampai gue masuk ke Poltekkes. Nah, ngapain aja saat jeda dua tahun itu?

Jadi, didetik-detik menuju kelulusan SMA, temen-temen gue hectic banget ikut SNMPTN (sekarang namanya SBMPTN) buat masuk PTN macam UI, ITB, UNPAD, dan berbagai universitas negeri bergengsi lainnya. Yaa, itu temen-temen gue. Sedangkan gue udah ngerasa males + mules duluan sama test-test macam itu. Serius, beberapa bulan ini gue udah drop sampai masuk RS gara-gara senin – sabtu harus masuk pendalaman materi, try out, dan menghadapi matematika selama tiga jam sehari, empat kali seminggu. Gue muak! Jadi setelah UN, gue putuskan untuk stop ikut-ikut test apapun itu.

Alasan kedua gue nggak ikut SNMPTN adalah karena gue udah dijamin masuk + dapet beasiswa di sebuah universitas swasta yang cukup terkenal pada saat itu. Kok bisa? Jadi sebelumnya kampus swasta ini ngadain try out di sekolah gue, dan yang nilainya (menurut mereka) bagus, bakal dapat jaminan masuk sekaligus beasiswa. Menarik, kan?

Goodbye SMA dan seisinya!
So, setelah lulus SMA, datanglah gue ke salah satu cabang kampus swasta ini di Bekasi untuk registrasi ulang. Sampai di sana, gue dikasih kertas yang memuat seluruh jurusan dan program studi di kampus tersebut.

Gue nanya dong. “Mbak, ini saya tinggal tunjuk aja?”

“Iya, kamu tinggal tunjuk aja mau di jurusan mana. Udah pasti masuk, kok.” Kata si Mbak.

Gue manggut-manggut. “Saya mau di Teknik Arsitektur, Mbak.”

“Oke kamu masuk situ.” Sahutnya.

Dalem hati gue langsung ngebatin. “What the... Semudah itu? Nggak ada kompetisinya sama sekali? Gue jadi punya firasat jelek!”

Tapi, buru-buru gue tepis prasangka buruk itu. Sekarang, cukup bersyukur aja, karena tanpa test yang berarti gue bisa kuliah di jurusan yang gue impikan sejak masih kecil. Arsitektur!

Alesan gue milih Jurusan Arsitektur itu sebenernya simple, karena gue suka gambar. Jadi, sejak kecil orang-orang di sekeliling gue kalo liat gue lagi corat coret buku mereka pasti bilang “Wah, gedenya jadi arsitek, nih!” atau “Kamu berbakat jadi arsitek!” dan lain sebagainya. Akhirnya, gue terstigma sama statement-statement orang dewasa itu, dan setiap kali ditanya “Novel, Novel, kalo gede mau jadi apa?” gue pasti bakal jawab "Arsitek, tante!"

Yeuhh, anak kecil emang gampang dipengaruhi.


2. Ospeknya Begini Aja?

Ospek. Apa yang ada dipikiran kalian saat mendengar kata itu? Jujur, buat gue yang baru pertama kali iku ospek di universitas, bawaannya udah takut aja. Soalnya di berita banyak maba-maba dari universitas lain mati karena ospek. Iya, mati. Anak orang loh itu. Orang tuanya udah jungkir balik buat ngebesarin, nyekolahin, sampai akhirnya bisa kuliah dengan biaya yang nggak murah, ehh malah dimatiin di hari pertama mereka sebagai mahasiswa. Seniornya berotak apa tydac, sih?

Tapi nyatanya, ketakutan gue itu nggak terjadi. Saat itu gue cuma disuruh gundul, pake kemeja putih dan celana bahan hitam kayak anak magang di restoran cepat saji sambil pakai pita dengan warna jurusan. Sepanjang hari kami cuma disuruh duduk di halaman sambil dengerin orang ngomong kayak talkshow. Bosen? Banget! Setelah itu pembagian kelas dan dibagikan buku paket. FYI, buku paket itu udah dipakai dari generasi ke generasi yang bisa dipinjam di awal semester dan dikembalikan lagi di akhir semester. Oke lah bosque!

Oh ya, kampus gue ini banyak banget cabangnya, dan gue dapet kampus yang ada di Depok. Cukup jauh dari rumah gue di Jakarta Timur. Apalagi dulu belom punya motor dan masih ngandelin angkutan umum. Maklum, dulu pas SMA gue pernah belajar motor gigi, baru lima meter keluar rumah udah nyungsep ke got, diketawain tukang rujak pula! Trauma sudah.

Setelah ospek, kami dikasih handphone oleh kampus secara cuma-cuma. Iya, handphone! Tapi di jaman itu belom ada android, semua masih panjat sosial pake Blackberry. Dan HP yang dikasih kampus gue ini adalah... Sumpah, gue lupa merknya apa. Tapi ada logo salah satu operator CDMA yang cukup trend kala itu. Fitur keren lainnya adalah nomor HP nya yang sesuai dengan Nomor Induk Mahasiswa (NIM) masing-masing. So, kita bisa absen dan cek IP cuma lewat HP dengan layar masih 128x128 pixel (Layar HP gue sekarang 2960x1440 pixel). By the way, sekarang hapenya mati total gara-gara HANYA kedudukan sama gue. Huheuhue...


3. Hari-hari sebagai Mahasiswa Arsitektur

Setiap kali berangkat kuliah gue harus naik angkot dari rumah ke perempatan di Pemuda, Rawamangun. Setelah itu gue harus nunggu Bus Patas AC 84 tujuan Pulo Gadung – Depok dan akhirnya gue hapal jadwal bus itu jalan. Hampir setiap hari tepat waktu. Kalo ketinggalan? Cilaka. Nunggu lagi sejam kemudian!

Di kampus ini nggak ada seragam. Yaa bebas aja, mau pakai kaos, jeans, atau apapun untuk membuat lu bisa jadi mahasiswa paling eksis di kampus. Selain peraturannya yang longgar, gue jadi berasa ganteng karena setiap hari bawa-bawa tabung gambar yang isinya tugas-tugas gambar gue di mata kuliah Estetika Bentuk. Satu lagi, kalo dilihat dari ukuran dan bentuknya, tabung gambar ini cocok banget buat nampol copet di angkutan umum!

Soal kehidupan di dalam kelas, sistem moving class adalah sistem yang paling nggak gue suka dimanapun. Gue udah enak-enak di bangku gue, ternyata harus pindah lagi dan duduknya ngacak lagi. Apalagi kalo dapet kelas yang nggak pakai AC dan nggak ada ventilasi. Iya, seriusan nggak ada ventilasi. Jadi kalo udah kebagian di kelas itu kami langsung buru-buru buka jendela. I mean, kampus ini katanya masuk sepuluh besar peringkat kampus terbaik di Indonesia, tapi nyatanya? AC di kelas nggak ada, meja dan bangku kayu kotor bekas dicorat-coret jomblo yang suka gambar kelaminnya sendiri, sampai presentasi yang masih memakai OHP.

Waitt... Kalian tahu OHP??? Nggak tahu? Coba googling. Sekarang gue masih suka ketawa sendiri kalo inget presentasi saat itu (2010) masih pakai OHP. Ada apa dengan MS Power Point? Ah, sudahlah mungkin ada alasan sendiri di balik itu.


4. Mata Kuliah yang Super!

Sengaja gue blur biar nggak ada yang kenal
Selama ini arsitek yang ada di bayang-bayang gue adalah... Yaa, tinggal gambar aja. Ternyata gue SALAH! SALAH! SALAH BESAR BANGET! Realitanya nggak se-simple itu! Gue belajar dari yang paling dasar, dari mengenali gradasi warna, sampai membuat berbagai macam bentuk lengkap dengan filosofinya yang, busyedd, rumit banget!

Contohnya gini, lu harus bikin gedung dari sebuah apel, tapi gedungnya nggak boleh berbentuk apel, tapi harus punya nilai-nilai dari apel. Bingung nggak lu? Gue juga pernah gambar tiket box dari panda yang nggak berbentuk panda tapi punya nilai-nilai panda, dan lain sebagainya. Ada lagi tugas menggambar 3D. Jadi bener-bener harus dibuat tiga macam gambar, tampak depan, samping, dan bentuk 3D-nya. Ampuuunnn!

Selain gambar-gambar, gue juga belajar Ilmu Budaya Dasar, di situ gue harus tahu pola-pola dan ciri khas budaya tertentu yang kaya akan nilai-nilai suatu kelompok atau bangsa. Jadi nggak boleh asal gambar karena di atas kertas kami wajib ada keterangan setiap detil yang udah kita coret di sana.

Hal yang paling membuat bulu kuduk merinding adalah di bagian hitung menghitungnya. Gue baru pertama kali ini ngelihat soal Fisika Bangunan, Mekanika Teknik, Strukur dan Kontruksi hingga Auto Cad yang nggak jauh dari beragam rumus dan hapalan. Apalagi, gue ini nggak pandai hitung-hitungan, jadilah IP tahun pertama gue itu cuma 1,7. Hadehhh...


5. Makrab yang Aneh (Most interesting story!)

Kelompok berapa ya?
Gue minta kalian pahami cerita ini baik-baik dan ambil hikmahnya. Gue ada di sana, tapi syukurnya gue nggak ngalamin bagian terburuknya. Oke, jadi gini..

Gue lupa tepatnya kapan, jadi saat itu angkatan gue diwajibkan ikut Makrab (Malam Keakraban) di Cibodas selama dua hari. Sebelum berangkat kami dapat tugas membuat maket (Model suatu bangunan berbentuk 3D dalam skala yang lebih kecil) menggunakan bahan apapun yang bisa kami dapat seperti karton, kardus bekas, stick es krim, dan lain-lain.

Saat kami sampai di lokasi, yang ada hanyalah padang rumput, danau kecil dan hutan belantara di kejauhan. Panitia juga sudah menyiapkan dua tenda untuk tempat kami tidur. Tendanya besar-besar. Satu untuk peserta dan satu lagi untuk panitia. 

Acara berlangsung lancar dari pagi hingga sore. Kami melakukan presentasi tentang maket yang kami buat, sampai mengikuti beberapa games  yang seru dan menyenangkan. Malamnya, kami bernyanyi mengelilingi api unggun. Satu persatu kelompok menampilkan yel-yel dan tugas seni mereka. Yaa, pokoknya kami semua larut dalam tawa malam itu. Hingga akhirnya, api unggun itu padam...


"Semua kembali ke tenda ya, kita tidur!" seru Pantia.

O my god, akhirnya setelah kegiatan tiada henti sepanjang hari, tiba juga saat untuk istirahat. Kami mulai berhamburan menuju tenda karena udara sudah semakin dingin. Ah, asap juga mulai keluar dari mulut saat kami bicara. Seingat gue, kami selesai api unggun di jam 10 atau 11 malam.

"Yang punya riwayat sakit, berkumpul ke saya, ya!" teriak Panitia yang lain.

Dengar panitia teriak begitu, gue langsung putar balik, nggak jadi masuk tenda. Jujur, gue punya riwayat asma dan sinusitis meski sekarang sedang sehat-sehat aja. Yang ada di pikiran gue saat itu adalah, mungkin, Panitia ingin mendata dan mengantisipasi kalau-kalau ada peserta yang kambuh tengah malam nanti karena saat ini kami jauh dari mana-mana. Siap, deh!

"Vel," tiba-tiba seseorang menghampiri gue di kegelapan. Oh, ternyata teman sekelas gue.

"Lu mau diculik. Bawa HP lu." bisiknya hati-hati. "Ada Jurit Malam tengah malah nanti. Kami disuruh nyari elu dan orang-orang yang sakit."

Setelah ngomong gitu, dia ngeloyor pergi bersama kerumunan yang lain, masuk ke tenda. Gue? Gue bengong dan nggak tahu harus apa. HP gue ada di tas, dan... gue diculik? Yang benar aja!

Setelah orang-orang yang punya riwayat penyakit berkumpul (kalo nggak salah ada lima sampai tujuh orang), kami digiring ke suatu tempat oleh seorang Panitia Cewek, sebut saja dia Si 'Cantik". Aslinya sih, nggak cantik. Agak nerd. Tapi setelah kejadian ini gue selalu anggap dia sebagai hero. Hahaha... Ups, nggak boleh spoiler!

Selama beberapa saat kami menyusuri jalanan becek dan gelap gulita hanya bermodalkan senter. Cukup jauh dari tenda. Si Kakak Cantik memandu kami perlahan, langkah demi langkah agar kaki kami nggak terperosok atau tergelincir saat menuruni tangga. Sumpah, jantung gue nggak berhenti berdegup kencang dari tadi. Siapa, sih yang nggak takut? Gue nggak pernah Makrab sampai ke luar kota begini di sekolah. Apalagi sampai ke hutan-hutan. Oh, shit!

Setelah beberapa menit berjalan, akhirnya kami sampai di sebuah gubuk yang terang. Gubuk kecil ini sejenis warkop dan satu-satunya yang masih buka hingga larut begini. Kami disuruh masuk dan duduk di dalam, ditemani dua Senior lainnya.

"Kalian di sini aja ya, tidur di sini, mau makan mie?" tawar si Kakak Cantik.

Gue jadi bingung banget sekarang. Ada apa sebenarnya sampai ditawari makan segala? Gue harus menaruh curiga, soalnya takut nanti jadi boomerang!

"Kak, nanti ada jurit malam, kan?" tanya salah satu temen gue. "Kami diculik, kan?"

"Diculik? Buat apa?" tanya Kakak Cantik heran. "Kami cuma khawatir kalo penyakit kalian kambuh tiba-tiba." jelasnya.

"Kak, kami mau ikut jurit malam." tegas temen gue yang lain. "Kami sehat. Masih bisa ikut." 

Kakak Cantik menggeleng. "Nggak boleh. Kalian di sini aja."

Akhirnya kami berdebat. Jika bukan untuk diculik, lantas untuk apa? Kami sehat, tapi kenapa kami seolah diperlakukan sakit? Akhirnya ada seorang Senior yang menengahi perdebatan kami. Dia membawa senter kecil dan memeriksa tenggorokan kami satu persatu.

"Lo sehat. Sana balik lagi." kata dia ke dua temen cowok gue. "Kalo ada apa-apa, gue nggak tanggung jawab."

"Oke, Kak!" seru mereka seraya ngeloyor pergi begitu aja. Kegirangan!

Pas gue yang diperiksa, Senior itu kaget sekaget-kagetnya. "Lo parah banget, nggak bisa, lo nggak gue izinin pergi!" katanya. Whatttt...???!!

"Saya nggak kenapa-kenapa kok, Kak!" tukas gue. Serius, ini nggak amsuk akal. Gue sehat, sumpah, semua baik-baik aja. Kenapa gue nggak boleh pergi? Gue belom pernah ikut Jurit Malam, woyyy! Sumpah penasaran!!!

"Kak, saya boleh balik ke tenda, ya?" tanya gue ke Kakak Cantik, soalnya masih ada tiga orang lagi yang tertahan di sini, nggak boleh kembali ke tenda.

"KALIAN ITU HARUSNYA BERSYUKUR DI SINI. KALIAN ITU NGGAK TAHU TEMEN-TEMEN KALIAN YANG DI SANA ITU BAKAL DIAPAIN!" ujarnya, marah. Gue langsung ciut di situ, nggak berani ngomong lagi.

Kata-kata "Kalian nggak tahu teman-teman kalian di sana itu bakal diapain" sukses bikin gue gelisah. Everything seems so clear now. Jadi, sasarannya adalah mereka yang ada di tenda. Bukan kami. Setelah makan mie, gue bergegas tidur bersama dua orang yang lain di dalam gubuk, meringkuk menahan dingin. Tapi setidaknya masih lebih nyaman. Ah, apa yang terjadi di luar sana...???


6. Cerita Sebenarnya

Bersiap pulang
Pagi menjelang. Gue bangun dan balik lagi menuju tenda. Tapi di satu tangga di dekat MCK gue lihat teman-teman gue lagi antre buat mandi. Muka mereka kusut. Dan... O god, rambut mereka rusak, seperti dicukur asal-asalan. FYI, Makrab ini hanya berjeda dua bulan setelah kami ospek, yang artinya rambut kami lagi masa tumbuh-tumbuhnya. Tapi sekarang, rambut temen-temen gue harus dibabat asal-asalan lagi. Jelek lagi!

"Kenapa lu?" tanya gue ke mereka.

"Ah, parah lu nggak ikut!" sahutnya dengan wajah bete.

Kami nggak sempat cerita mengenai kejadian tadi malam sampai kami kembali ke kampus. Gue tanya ke salah satu kawan dekat, dan mereka menceritakan semuanya, meski nggak lengkap dan hanya beberapa yang gue ingat, tapi biarlah. Here we go!

Pada malam ketika dua orang yang ada di gubuk kembali ke tenda, mereka diizinkan untuk tidur bersama yang lainnya. Malam itu sunyi. Hanya desau angin dan hawa dingin yang menyeruak di sekeliling. Sampai akhirnya, orang-orang dengan topeng atau masker gas itu datang masuk ke dalam tenda peserta.

Mereka membangunkan semua orang yang tengah tertidur, berteriak sambil mengumpat, menggiring semua anak di dalam keluar dari tenda. Bayangkan, di luar udara dingin menusuk sampai ke tulang, tapi laki-laki dilarang memakai baju, cuma boleh pakai boxer! Yang perempuan tetap berpakaian sewajarnya tapi nggak boleh pakai jaket. Mereka menggigil!

Sebagian manusia bermasker masuk ke dalam tenda, mereka membuka tas orang-orang dan menghamburkan segala isi di dalamnya. Dilempar entah kemana. Diacak hingga berbaur. Seperti tumpukan baju bekas saja!

Di luar tenda, mereka disuruh menggaruk-garuk tanah. Ada cerita kalo seorang cewek (temen sekelas gue) garuk-garuk tanah dengan manja, dan akhirnya dia dikerumunin sama orang-orang bermasker itu. 

"Kenapa garuk tanahnya begitu?!" tanya salah satu orang bermasker.

"Ihh, nanti kuku aku rusak!" jawab cewek itu.

Jawaban yang bloon. Kita bisa bayangkan apa yang terjadi setelah itu.

Sampai di sini, cerita selanjutnya samar. Gue nggak ingat apa yg terjadi karena kejadiannya sudah delapan tahun berlalu. Sisanya seperti yang gue ceritakan di atas, rambut mereka dibabat habis, dan salah satu anak yang pergi dari gubuk akhirnya pingsan karena nggak kuat menahan udara dingin malam itu.


7. Akhir kata

Dulu gue berpikir apa esensi dari itu semua? Dari perlakuan berlebihan itu? Sampai gue masuk ke Poltekkes pun, masih ada senior yang seperti itu ketika PPSM. Apa? Apa maksud dan nilai yang bisa diambil dari perlakuan-perlakuan seperti itu?  Menyuruh junior-junior itu melakukan tindakan nggak masuk akal, membentak dengan kata-kata kasar, semua itu buat apa?

Setelah 1,5 tahun di kampus itu, gue pergi. Menuju masa depan yang memang sudah digariskan untuk gue sebagaimana mestinya. Ternyata, apa yang gue impi-impikan sejak kecil tidak selalu berjalan seperti yang gue harapkan. Menyesal? Tidak. Gue menemukan sedikit orang baik di kampus itu. Ada banyak kenangan juga di sana. Semoga bisa kembali bertemu mereka lagi! XOXO.

Sampai hari ini, meski sudah delapan tahun berlalu, tabung gambar itu masih terpajang di kamar gue, meski berdebu. Yah, paling tidak itulah kenangan terakhir yang gue punya selain foto-foto di facebook yang sudah mulai ketinggalan jaman.

Intinya, Profesi Arsitek memang salah satu profesi yang sampai hari ini masih memiliki tempat khusus di hati gue. Semua pelajaran yang gue dapat di kampus itu juga menjadi dasar untuk kegiatan seni gue di tahun-tahun berikutnya. Semua nggak ada yang sia-sia. Hanya saja gue yang nggak mampu untuk bertahan menempuh setiap mata kuliahnya. Sungguh, berat banget buat gue.


Menjadi mahasiswa arsitek itu memang harus tahan banting!


No comments:

Post a Comment